(Dari Islamisasi ke Organisasi)
BERBICARA masuk dan berkembangnya Islam di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari tasawuf. Tasawuf merupakan corak awal dari ajaran Islam yang masuk ke Nusantara. Tidak berlebihan jika Alwi Shihab dalam bukunya, Akar Tasawuf Nusantara mengatakan Islam Indonesia adalah Islam Tasawuf.
Aceh sebagai gerbang masuknya Islam ke Nusantara juga tidak dapat dipisahkan dari tasawuf. Proses islamisasi yang terjadi pada abad ke-12 sampai abad ke-18 bercorak tasawuf. Tulisan ini hadir dengan maksud melihat perkembangan tasawuf di Aceh; mulai dari islamisasi hingga ke organisasi.
Dari falsafi ke akhlakiMasuknya Islam ke Aceh tidak bisa dilepaskan dari ajaran tasawuf, terutama ajaran tasawuf yang bersifat falsafi. Tokoh-tokoh tasawuf awal merupakan pendukung tasawuf falsafi. Mulai dari Hamzah al-Fansuri (1590) sampai Syamsuddin al-Sumatrani (1670) merupakan dua tokoh yang mewakili pandangan wujudiyah (panteisme).
Pemahaman wujudiyah al-Fansuri dan al-Sumatrani bersumber dari ajaran wujudiyah Ibn ‘Arabi dalam kitab Futuhat al-Makkiyah dan Fushuh al-Hikam. Meskipun dalam kedua kitab tersebut tidak pernah disebutkan istilah wujudiyah, wahdatul wujud atau hulul wa al-ittihad. Namun dalam kedua kitab tersebut dapat ditemukan pernyataan-pernyataan Ibn ‘Arabi yang mengarah kepada pemahaman tersebut. Seperti sebuah bait syair yang berbunyi, Kunna hurufan ‘aliyatin lam nuqal. Muta‘alliqatin fi dzura a‘la al-qulal. Ana anta fihi wa nahnu anta wa anta huwa wa al-kullu fi huwa huwa fasal ‘amman washal (kami huruf-huruf mulia namun tak terucapkan. Tersembunyi di puncak tertinggi dari bukit-bukit. Aku adalah engkau dalam Dia dan kami adalah engkau, dan engkau adalah Dia. Dan semuanya adalah Dia dalam Dia. Tanyalah mereka yang telah sampai).
Paham wujudiyah Ibn ‘Arabi ini mengalami perkembangan pesat di Aceh melalui al-Sumatrani yang ditengarai sebagai orang pertama yang menerjemahkan konsep Martabat Tujuh ke dalam bahasa Melayu. Martabat Tujuh sendiri merupakan satu paham wujudiyah yang dipopularkan oleh al-Burhanpuri (1620) dalam kitabnya al-Tuhfah al-Mursalah ila Ruh al-Nabi.
Martabat Tujuh mengajarkan bahwa wujud itu hanya satu dan wujud yang satu itu adalah wujud al-haqq (Allah). Tetapi kemudian satu wujud ini memiliki banyak manifestasi yang mengambil bentuk dalam tujuh tingkatan (martabat). Ketujuh martabat tersebut adalah ahadiyah, wahdah, wahidiyah, arwah, mitsal, ajsam, dan insan.
Ajaran Martabat Tujuh-nya al-Bunhapuri ini mendapatkan serangan keras dari Nuruddin al-Raniry (1685). Untuk tujuan ini, Ar-Raniry menulis sebuah kitab yang berjudul Fath al-Mubin ‘ala al-Mulhidin. Para ahli menduga polemik inilah yang menyebabkan Ar-Raniry meninggalkan Aceh pada 1644, dikarenakan pandangannya tersebut tidak mendapatkan sambutan yang luas dari masyarakat dan penguasa saat itu.
Polemik Ar-Raniry dengan kaum wujudiyah ini berhasil dinetralkan oleh Abdurrauf al-Singkili (1693). Al-Singkili saat itu meminta kepada Ibrahim al-Kurani, seorang gurunya di Mekkah untuk menulis satu kitab yang berisi tanggapan terhadap ajaran Martabat Tujuh yang diserang Ar-Raniry.
Menanggapi permintaan tersebut, al-Kurani menulis sebuah risalah yang berjudul Ithaf al-Zaki bi Syarh al-Tuhfat al-Mursalah ila Ruh al-Nabi. Di dalam risalah ini, al-Kurani berusaha menetralisir pemahaman panteisme yang terdapat dalam kitab al-Tuhfah al-Mursalah dengan mengintrodusir penafsiran ortodoks ke dalam ajaran panteisme.
Cara itu kemudian juga digunakan oleh al-Singkili untuk menyinerjikan aspek mistisme Islam dengan syariat, seperti yang terlihat di dalam karyanya Kifayat al-Muhtajin ila Masyrab al-Muwahhidin al-Qa’ilin bi Wahdah al-Wujud dan Daqa‘iq al-Huruf. Di tangan al-Singkili-lah pemikiran tasawuf Aceh bergeser dari aliran tasawuf falsafi menjadi tasawuf akhlaki. Sejak saat itu, tasawuf akhlaki mulai menjadi arus utama (mainstream) tasawuf Aceh.
Perbedaan pemikiran tasawuf pada generasi awal tidak menyebabkan mereka berbeda dalam praktik mengamalkan ajaran tasawuf. Dalam praktinya, mereka tetap merujuk kepada amalan tarikat. Beberapa bagian syair-syair al-Fansuri menyiratkan bahwa dia berafiliasi dengan tarikat Qadiriyah dan bahkan penah menjadi seorang khalifah dari tarikat tersebut. Al-Sumatrani merupakan pengikut tarikat Syattariyah. Ar-Raniry sendiri mengamalkan tarikat Rifa’iyyah. Sedangkan al-Singkili mengajarkan zikir dan wirid dalam tarikat Syattariyah.
Mengalami pergeseranPengamalan ajaran tasawuf dengan tarikat tertentu tersebut mengalami pergeseran dalam beberapa dasarwarsa terakhir. Tarikat-tarikat tasawuf tersebut mulai mengambil bentuk dalam organisasi-organisasi tasawuf.
Organisasi-organisasi tersebut dapat dibedakan ke dalam tiga kategori besar: Pertama, organisasi majelis zikir, seperti Majelis Zikir Zawin Nabi, Majelis Zikir Aceh, dan Majelis Zikir Ar-Rahmah. Kedua, organisasi majelis pengajian seperti majelis TASTAFI (tasawuf, tauhid, dan fikih). Dan, ketiga, organisasi yang berbentuk majelis zikir sekaligus majelis pengajian, seperti Majelis Pengajian Tauhid Tasawuf (MPTT) yang juga memiliki majelis zikir yang dikenal dengan Rateb Seuribe.
Pergeseran pola praktik ajaran tasawuf ini merupakan cara tasawuf beradaptasi dalam menghadapi tantangan dan perkembangan zaman, sehingga ia tetap diterima luas dalam masyarakat urban sekarang ini. Prediksi sebagian ahli yang mengatakan, praktik tasawuf akan sirna dengan sendirinya pada abad modern ini tidak terbukti. Kegersangan spiritual yang dialami masyarakat urban terobati dalam oase zikir dan pengajian tasawuf yang dilakukan organisasi-organisasi tersebut. Pada tahap berikutnya, organisasi-organisasi tasawuf tersebut mengerucut kepada dua kelompok besar Tastafi dan MPTT.
Dua kelompok ini tidak hanya berbeda dalam alur organisasi, namun juga berbeda dalam aliran pemikiran dan wilayah yang menjadi basis pengikut. Tastafi lebih pada majelis pengajian, sedangkan MPTT dengan Rateb Seuribe-nya lebih berorientasi kepada majelis zikir. Pemikiran Tastafi bercorak tasawuf akhlaki, sedangkan MPTT lebih berafiliasi kepada tasawuf falsafi.
Tastafi memiliki basis masa pengikut terbesar di wilayah pantai Utara dan Timur Aceh, sedangkan MPTT basis masa mayoritasnya tersebar sepanjang pantai Barat dan Selatan Aceh. Jika dua kelompok besar ini bisa bersinergi dalam mendakwahkan ajaran tasawuf, bukanlah suatu mustahil kalau kerak peradaban Islam akan kembali bersemi di Aceh. Semoga!
* Dr. Mizaj Iskandar, Lc., LL.M., Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Ar-Raniry, dan Wakil Ketua Ikatan Alumni Timur Tengah (IKAT) Aceh. Email: [email protected]
%PDF-1.5 %âãÏÓ 15 0 obj << /Filter /FlateDecode /Length 151544 /Length1 353100 >> stream xœì||”Uºþ9ß7-3If&dÒ&ÉL2I!” H�ÐCH¨éš FQÀ(ö†±â.–É€¬èbY6V]+¬®««Øa�üŸó½s òWïîÞ½ëzï¼É3ÏsÞS¾SßïäG㌱8|èXuqEÙÈ1·Vïdú’�Œ¥ì-Q¥˜15dqIé”#óÜL©x†1ƒmäÄ ËëÞ-eJÕLù$0²Â?Âø—KŸ�ÇØ7WL¨Èí·ùñ™÷3Æ?ÂS«ëÔ´|7ÿ;c•w£½¼º3—¹w·¼1€±MÇð¼‡[æ,øvËŒ©ŒM?ÀXTŸ95K[X*óàùh�Ùæ4ŸÕØÔ¹ú0cWv06C×ÔPSؼía´ßŒü�MpDÝã…ôíHg4-X¶r^|ú@Æø¦ÔÎoX²ðý¯Œ`<=¾�šÕÕÜÔpþËŒ}Ž6úMYP³²¥WdæÔÇø˜{Aòš·oKžÀø¬ý¢ÿk4\öÈÞ!Œg ¿}-‹–.ët²õè_¬(ß²¤¡¥ÛœôDÆæÚðøO˜˜kCïØßþí±ÙÖ¡‡Y¢‰ {è“ÕÏÞofôxkħ&ô‘E0…‘¡ž��`|¯yë÷G�n�øTk©‹Å…'±'ke6VÅTÔ´±\¶9µçr¦ê¼ü2¦g&ýf}4™J¬¾ÄÖ+ÌÄ«^Q�ªè°ž�{XÆÙZ`ã*Ünæc,óyêƒq‹’åf¼Sä©»ôÑb¤,V}ª7üEöÞ¯³»é>üo1]»å—îÃ?bÃÿLÕC¿®yøŸ0]«þ¥û¶ÿ¾)ϲͿt~ ¦ü™�úgêñ#¬ù_Ý—°…-laÛ?oÊ Üü“yÕìп³/¿S°‹~é>t5å9æQ?eµ@¹ÎÏÒÕ×ÁÙZ5È€ëd9üL|/°˜¸�`>PL:ÙÞ&–¨žËf¨KY•z7ËR›X�º‹-TËX®z?#Ë©7³M@Pæ 5À, üGû—ýw÷¯ÏOõ�ËÇêÙ¶•í`»S Üî•î�™Ïwv†J¸Yß“%‚¡ËÜçj%xça<êáο±xRg�Zªûdáîï¯ÿ‚÷Î==ùçzªŽV¯eþ©–úòôÿ±i%ôÿû*ìç�wiïçxHýLý\ýBýRýJýZýæ¿hõ”ÿÝ%Eg’~&ï⤥ÿ Sÿ¥ýGî@ß´õ,[ºdqË¢…šçÏ›Û4§±¡¾vö¬™3¦O«ªôO®˜T>qÂøqcÇŒ.5²´¤¸hÄp_á°3†\�?hà€ÜÞ9½²³23<鮄X»Íe1G˜Œ½NU8ëUâ)v²ªº,ϨQ9"í©�£¦‹£:à†«ô‡eîj˜û‡%}(ÙxZI•ô�,Émî¡lhN/w‰Çx¡ØãîàÓÊ+¡7{ªÜ�Cš§i]––ˆB"- 5Ü% MÅî ¯v—JÏlj+©.F{ís‘§¨ÁœÓ‹µ›-�¨@¶§¥�gãšP²K·+Ì%P3KjêË+KŠ�iiUš�imE£Ö–{®è3»ÈÝÞkOÛÅ6V[í�¬÷Ô×̨¨5¨Ô¦–´µmؽ�žâ@�U$`È �^žâ’€×ƒÆÆL:ù ÐgÚ<î¶Ã�÷úô‡žš�Ç�i;Ì„C<9MÈ—š¡oè!Æ—–&úrQ‡�Õ"h-¯¤´›Õ:ƒÌ—ë (Õ"g�ÌqøEN«Ì9Y½Ú“&–ª¤:ô}fSB µÖ�Ó³¯}gâùU][×$¸¦¡ÍS\Ló6¹2à+†ðÕ„ÆZÒÞ'åkª1ˆ¹bÊ+¹ž–@¬g€Ã-Ö`nE¥V%T-[`Õu¡Z�Ü’bÑ/wI[u1uP´å)¯ÜÍúwhÏs;wôgy¬Jô#W„EÉ*i«¬o¸ª�õØŸ�îJgZÀW…é«òT6T‰UòØ=àqiÚµZÛi¥ea1rc¦É]©8Õ*±Zp¸Kñá16,—–+:b¨»’;™,†§„Jõƒv�P3‹F‰,UT-åL«J#û™.9C}ÒgL]Ú²Áq²OôœŸì•êá.i(îÒÁ4ªu0ÔÚ�÷Ssz0j˜ÄrŽ’Yj&N.| šÑ\bÜ6Ñ]éiðTy°‡|+ÅØÄ\kë;¦Â3¦|Z¥¶Ú¡]2ù)ÊϧT€¥![&”"ìÁR¯S.«–©¥O&G�–]&³=¢_mmõíLÍ[ÙÙÎ5¡/º¨*0Á[å Ôz=i¢Ÿ9½ÚM,2mruÎj)Â�§´Æ㶹KÛj::[kÛÚ}¾¶–’ê¦Á8mž²ú6OEåP§ÖùI•kœ«Ä³cØ>fò4¥°í¾±¼ÝÇ7VL«ÜmÛgãäÊ Â•¢êUíÈ«Üíf̧yáN‘p‹„hi&¼s·�±V-W§9´t]gšÏ$}œÕu(ä³Ñƒ²´ùp‹©ëÐQŽO–ÖÁg"_+•Î•6!Ç&rdŠ¸¿‰L²v&&ØgÖûL¾_¤¥`J…+σ(ÁÙŽHÅ�íhs’æîàí>çn¥I¡’()|'}è¹(Ö¥!<�î?5ÿ´Ê‘íkŸ(1BvaBöÞ'%îz±ÿVW5µUW‰èÁâ°WñÍÜ3ŒÏ0ôØ0{F,žÂ_(ü…ä7¿;ŸÇq,¶ºmÕbœ˜JæätÖTѤ»£³sreÚÎCUi8K3€i•�/^núÌÑ(7R î‘�ÖºÑæ¯u�™euU8—²A)D …ˆP(QªÕç •ê°×j<š„¡£µ*Påœ[¥�W[€�ò²¨M}–xPnU[Œ§Ÿ|pÖÍ™E o¬¢’